Sabtu, 20 November 2010

Konfigurasi Wahyu, Akal dan Naluri; Ruang Lingkup Syariat.

Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu, seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang. Konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq pada waktu Isra, Jibril yang menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq, adalah suatu ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.
Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia di dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular: 'ubudiyyah) untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyyaat ini sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyyaat inilah yang identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat: semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Qur'an dan Hadits Shahih), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam istilah populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian: Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana, berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib diperintahkan dalam bulan Ramadhan?
Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat.
Syariat Islam juga mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'amalaat (mufrad: mu'amalah) untuk manusia sebagai makhluk bermasyarakat. (Ibadah adalah segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran utama yang mutlak menurut Al Quran dalam kehidupan kita sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang benar, dikerjakan dengan ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, lebih luas pengertiannya dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Seperti misalnya membuang beling dari jalanan itu adalah ibadah yang mu'amalah, jika diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena penampilan, berbuat baik kepada sesama manusia supaya mereka yang tidak bersepatu terhindar dari bencana luka akibat menginjaknya. Peribadatan yang muamalaat ini adalah Syariat yang tidak ketat, sifatnya terbuka: semua boleh, kecuali yang dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Dalam istilah populernya 'ibadah yang mu'amalaat disebut 'ibadah yang non-ritual, yaitu cara, waktu, jumlah dan tempat tidak ditentukan oleh Nash.
Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di masjid. Kalau pemakaian bedug itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub sistem dari peribadatan ubudiyyaat yang ketat. Jadi tidak boleh, karena Rasulullah tidak pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan tetapi jika pemukulan bedug itu diniatkan hanya sebagai sarana untuk interaksi sosial, yang fungsinya seperti loud speaker, maka ini masuk dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua boleh kecuali yang dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Nabi hanya pernah melarang pemakaian lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah dilarang, jadi bedug boleh dipakai.*) Karena Syari'at yang mu'amalaat ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail dipikirkan oleh akal manusia. Tentu saja hal yang mendetail ini sifatnya situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun hasil akal yang situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu penggunaannya dibatasi oleh aturan-aturan pokok Syari'at Islam yang muamalaat. Dalam Syariat yang mu'amalaat ini akal lebih bebas, yaitu boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, apa hikmahnya, sepanjang masalah itu terletak di luar ruang lingkup aturan-aturan pokok Syari'at. WaLlahu a'lamu bishshawab.

Kursi Iman dan Kursi Ilmu. Dibedakan Tetapi Tidak Dipisahkan .

Di dalam diri kita harus disediakan dua kursi, yaitu kursi iman dan kursi ilmu. Kedua kursi itu harus dapat dibedakan, tetapi tidak boleh dipisahkan, karena keduanya merupakan satu sistem. Kedua kursi itu harus dibedakan, oleh karena apabila kita menempatkan sesuatu hal tidak pada kursinya, misalnya suatu hal yang harus didudukkan pada kursi ilmu, tetapi kita dudukkan pada kursi iman, pikiran kita akan beku, tidak berkembang, karena sesuatu yang patut kita pertanyakan, kita tidak berani mempertanyakannya. Sebaliknya, jika sesuatu hal yang seharusnya didudukkan pada kursi iman, tetapi kita dudukkan pada kursi ilmu, maka iman kita akan cacat, karena kita akan mempertanyakan sesuatu, yang sepatutnya kita tidak boleh mempertanyakannya.
Uraian di atas itu berpangkal pada perbedaan sikap dalam beriman dan berilmu. Sikap kita harus skeptik, jika kita menghadapi obyek ilmu. Apakah yang menjadi obyek llmu itu? Yang menjadi obyek ilmu adalah produk akal manusia. Yaitu fakta dan hasil penafsiran manusia terhadap fakta itu, yang lazim disebut dengan teori ataupun hipotesa. Dan apakah fakta itu? Fakta adalah hasil observasi dari sumber informasi yang dapat ditangkap oleh pancaindera secara langsung, maupun secara tidak langsung. Maksudnya dideteksi terlebih dahulu oleh instrumen dalam laboratorium. Skeptik berarti ragu, tidak menolak, tetapi belum menerima, dan sebaliknya tidak menerima, tetapi belum menolak. Sikap ragu itu akan berakhir dengan menerima, atau menolak, tergantung hasil jawaban pertanyaan-pertanyaan berikut: Betulkah begitu? Apa fakta-fakta yang menguatkan pembuktian itu?
Sebaliknya, kita tidak boleh bersikap skeptik terhadap obyek iman. Terhadap apa yang harus diimani, akal kita tidak boleh bertanya seperti rentetan pertanyaan dalam berilmu di atas itu. Dan apakah obyek iman itu? Obyek iman itu berasal dari sumber informasi berupa wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Informasi wahyu ini tentu saja yang otentik berasal dari nabi dan rasul yang menerima wahyu itu. Apakah kriteria sumber informasi wahyu yang otentik itu? Tidak boleh ada penafsiran/interpretasi manusia yang disisipkan ke dalamnya. Tidak boleh ada perubahan kalimat ataupun kata, baik berupa penambahan, atau pengurangan. Harus dalam bahasa asli bangsa dari rasul yang diutus itu. Satu-satunya sumber informasi wahyu yang dapat memenuhi kriteria itu adalah Al Quran. Semua wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW ada dalam Al Quran yang dituliskan oleh para juru tulis Rasulullah. Itulah sebabnya Al Quran (yang dibaca) disebut pula Al Kitab (yang dituliskan). Dan tak ada satupun yang bukan wahyu yang ikut dimasukkan dalam Al Quran. Dan Al Quran itu adalah dalam bahasa Arab yang dipergunakan oleh suku bangsa Quraisy, yaitu suku bangsa di mana Nabi Muhammad SAW tergolong dalam suku itu. Inna anzalnahu Quranan Arabiyyan la'allakum ta'qilun. Sesungguhnya Kami turunkan Al Quran dalam bahasa Arab, mudah-mudahan kamu pergunakan akalmu (S.Yusuf 1). Keadaan Al Quran yang dapat bertahan keotentikannya terhadap zaman, adalah konsekwensi logik bahwa Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir, Khatamun Nabiyyien, penutup para nabi.
Telah disebutkan di atas iman dan ilmu harus dibedakan, tetapi tidak boleh dipisahkan. Karena memisahkan iman dengan ilmu akan mengakibatkan pecahnya kepribadian seseorang. Di satu saat ia akan bicara sebagai seorang ilmuwan, di satu saat yang lain akan bicara sebagai seorang yang beriman. Misalnya di satu saat sebagai seorang pakar kebudayaan, akan memasukkan agama ke dalam kebudayaan, artinya agama itu adalah bagian dari kebudayaan, dan di suatu saat yang lain ia bicara sebagai orang beriman lalu mengatakan bahwa agama itu bukan bagian dari kebudayaan, karena agama itu sumbernya dari wahyu Allah SWT. Apabila ia menjumpai adanya pertentangan antara apa yang mesti dia imani dengan yang mesti dia ilmui, dia akan bingung. Salah satu alternatif ini yang akan terjadi, ia akan berhenti menjadi pakar dan akan frusturasi, lalu ia akan beragama secara dogmatik, akalnya beku, yang akan menjerumuskannya ke dalam taklid buta. Atau sebaliknya ia akan memilih ilmunya dan mencapakkan imannya, dan menjadi acuh tak acuh terhadap agamnya, menjadi orang agnostik.
Apabila iman dan ilmu tidak kita pisahkan, kepribadian kita akan menjadi utuh, sehingga kita tidak akan terjerumus ke dalam sikap beragama yang bertaklid buta, dan juga tidak terjerumus ke dalam sikap yang agnostik. Kalau suatu saat kita melihat adanya pertentangan di antara keduanya, kita tambah ilmu untuk mendapatkan informasi yang relevan untuk iman kita. Atau kita tinjau kembali ilmu kita, melakukan reinterpretasi, penafsiran kembali, karena kebenaran ilmiyah itu sifatnya sementara, artinya relatif dalam arti menurut tempat, situasi, waktu dan peralatan ilmu bantu. Untuk contoh di atas, kalau kita sedikit jeli, mengapa terjadi pertentangan, karena ada agama yang berasal dari akar yang historik, maka itu adalah agama kebudayaan, ia termasuk dalam bagian kebudayaan. Ada agama yang berasal dari akar yang non-historik, yaitu wahyu, maka itu adalah agama wahyu, ia bukan bagian dari kebudayaan. Dan ada agama yang sebagian mempunyai akar historis dan sebagian bersumber dari wahyu. Agama jenis ketiga ini, sebagiannya menjadi bagian dari kebudayaan, dan sebagiannya bukan bagian dari kebudayaan.
Di dalam berilmu ada sebuah pendekatan yang dirasa perlu dikemukakan di sini, yaitu pendekatan sistem. Melihat obyek ilmu secara kaffah (totalitas), yang mempunyai fungsi dan trujuan, yang terdiri atas komponen-komponen yang mempunyai kaitan tertentu antara satu dengan yang lain, dan yang kaffah itu melebihi dari sekadar kumpulan komponen-komponen itu semuanya. Pendekatan ini dapat diterapkan dalam obyek iman, oleh karena pendekatan ini tidak akan merusak iman kita, bahkan Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk memegang prinsip kaffah ini, seperti firmanNya dalam S. Al Baqarah, ayat 208: Ya ayyuhalladziena amanu udkhulu fie ssilmi kaffah, artinya: Hai orang-orang beriman, masukilah keselamatan secara kaffah/totalitas.
Maka dengan metode pendekatan sistem ini, dapatlah kita menjadikan iman dan ilmu menjadi satu sistem, dan terlepaslah kita insya Allah, yang pakar dan bukan pakar, dari bahaya pecahnya kepribadian, terhindarlah kita dari alternatif atau beragama yang dogmatik, atau bersikap agnostik, acuh tak acuh mencuekkan agama. WaLlahu a'lamu bishshawab.

Peranan Wahyu dan Akal dalam Kehidupan

Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah.
Medan gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya.
***
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian.
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.
Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau, Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), inilah kitab tak ada keraguan dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (s. Sapi betina, 2:1-2). Al Quran yang tak ada keraguan dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya: 'Allama lInsa-na Ma-lam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib.
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
Hudan lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu. WaLlahu a'lamu bishshawab.